Rabu, 01 Desember 2010

H Probosutedjo


Pengabdian Guru Jadi Pengusaha

Sebagai guru Taman Siswa, yang hidup bersama seorang anak dan istri yang sedang mengandung anak kedua, Probosutedjo mulai merasakan keterbatasan kemampuan keuangan untuk membiayai kehidupan rumah-tangganya. Dia pun mengubah haluan ‘perahu’ kehidupannya menjadi pengusaha.



Pada 1960, naluri bisnis Probo mencuat. Diawali dengan membuat diktat pelajaran SMA. Teman-teman guru yang mengajar di Taman Madya (SMA) Taman Siswa dianjurkannya membuat diktat. Diktat-diktat itu dia stensil (pada waktu itu belum ada fotokopi). Lalu para guru tersebut menjual diktat itu kepada murid-murid dan keuntungannya dibagi dua dengan Probo.


Kemudian Probo memperoleh dorongan dari adik mertua dengan memperkenalkannya kepada seorang pengusaha asal Medan, Ng Co Mo, pemilik PT Orisi. Probo pun dipercaya mendirikan Perwakilan PT Orisi di Jakarta. Dia meninggalkan isteri dan anak di Siantar, sementara dia tinggal di rumah kakaknya, Soeharto, di Jalan Agus Salim 98.


Berkat hubungan lama yang berlangsung baik dengan PT Orisi, keduanya sepakat mendirikan usaha bersama, PT Setia Budi Murni, berkedudukan di Jakarta. Probo kemudian mendirikan lagi usaha sendiri, PT Embun Emas, berkedudukan di Medan, yang pada tahun 1966 merintis hubungan dagang dengan Malaysia, sesudah normalisasi hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Seperti diketahui pada tahun 1962, Indonesia dan Malaysia konfrontasi karena Bung Karno tidak dapat menerima berdirinya Malaysia.

Modal Hasil Komisi
Probosutedjo mulai memiliki modal besar untuk berbisnis, setelah berhasil membantu menyelesaikan utang piutang antara para pengusaha Malaysia dan Indonesia sebesar 350 juta dolar Singapura. Utang itu timbul akibat pembayaran ekspor Indonesia yang tertahan, sebagai dampak konfrontasi Indonesia-Malaysia sebelumnya.


Probo lalu menghubungi Malaysia, negara itu bersedia membayar asal ada bank garansi di Bank Indonesia. Dari Bank Indonesia, Probo mendapat jawaban positif, bersedia mengeluarkan bank garansi jika ada surat resmi dari pemerintah yang menyebutkan Probo mendapat mandat menyelesaikan masalah tersebut.


Probo lalu menghadap Sri Sultan Hamengkubuwono IX, bukan kepada kakaknya Soeharto yang sudah menjadi pejabat Presiden RI, setelah Sidang Umum MPRS mengangkatnya tahun 1967. Probo tidak menemui Soeharto sebab sangat mengetahui persis sifat kakaknya itu, bisa-bisa bukan surat yang Probo dapatkan melainkan marah-marah, sebab meminta sesuatu yang bukan pada proporsinya.


Surat Sri Sultan HB IX akhirnya keluar, ditujukan kepada Departemen Luar Negeri yang ditandatangani oleh Oemaryadi. Setelah itu, pembayaran utang 350 juta dolar Singapura langsung diserahkan ke Pemerintah RI, kemudian digunakan untuk membiayai Operasi Khusus (Opsus). Probo sama-sekali tak memperoleh apa-apa dari Pemerintah RI, kecuali komisi sebesar satu persen atau 3,5 juta dolar Singapura dari pihak Malaysia.


Uang komisi itulah yang Probo manfaatkan menambah modal usaha di Jakarta. Ia memperoleh banyak keuntungan dari usaha leveransir ke Departemen Sosial dan jual beli tanah.

Pengabdian Importir Cengkeh
Probosutedjo mendirikan PT Mercu Buana, 1968, awalnya untuk menangani impor cengkeh. Kala itu belum ada sindikat cengkeh. Belakangan, CV Berkat muncul mengendalikan tataniaga dan sindikasi cengkeh, tapi ternyata gagal. Lalu, 1970, Probo mengajukan usul ke pemerintah, agar impor cengkeh dikoordinasikan saja oleh pemerintah sehingga keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan.
Tahun 1970 harga cengkeh di dalam negeri melambung.



Sebab produksi dalam negeri tak mencukupi kebutuhan pabrik-pabrik rokok. Probo mengajukan saran, pabrik-pabrik rokok besar sebaiknya tidak membeli cengkeh di pasaran, apalagi membeli langsung ke daerah penghasil. Bahkan, untuk menjaga agar harga cengkeh tidak terus melambung, pabrik rokok besar harus bersedia meminjamkan stok cengkehnya ke pabrik-pabrik rokok kecil. Dengan harga yang stabil, pabrik rokok kecil terselamatkan, malah mereka dapat diikutkan sebagai pemilik saham di pabrik-pabrik rokok besar, maksimal 30 persen.


Usulan Probosutedjo mendapat tanggapan positif, sehingga keluarlah Keputusan Menteri Perdagangan No. 332/Kp/XII/70, tanggal 31 Desember 1970, yang menunjuk PT Mercu Buana menjadi handling agent cengkeh untuk wilayah Jawa Timur. Pemerintah juga menunjuk PT Mega, milik Liem Sioe Liong, untuk wilayah Jawa Tengah. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas PT Mercu Buana, demikian pula PT Mega, diatur secara ketat sesuai Instruksi Menteri Perdagangan No. 45/M/INS/XI/70 tanggal 27 November 1970.


Pemerintah kemudian mengeluarkan Instruksi Menteri Perdagangan No. 17/M/INS/II/71 tanggal 20 Februari 1971, dan No. 139/M/INS/II/71, yang memberi ijin kepada PT Mercu Buana untuk mengimpor cengkeh dari Madagaskar atau Zanzibar.
Sejak Mei 1972 hingga Juni 1987, PT Mercu Buana melakukan 59 kali impor cengkeh. Seluruh keuntungannya, sebesar Rp 120.489.660.782,72, diserahkan ke Sekretariat Negara (Sekneg). Probosutedjo hanya memperoleh fee dua persen dari total keuntungan impor cengkeh, atau sekitar dua miliar rupiah selama 15 tahun.


Keuntungan dari impor cengkeh, oleh Setneg kemudian mengalir melalui Bantuan Presiden (Banpres), antara lain kepada partai-partai politik, membangun Rumah Sakit TNI AD Gatot Subroto Jakarta, dan lain-lain.


Nyatalah, bahwa motivasi Probosutedjo menerima tugas sebagai importir cengkeh bukanlah perhitungan bisnis semata. Melainkan ada sisi pengabdian kepada bangsa dan negara di situ. Probo sangat bahagia melaksanakan tugas pengabdian tersebut.


Kepada para petani cengkeh, Probo selalu berusaha mendorong agar semakin giat menanam cengkeh. Supaya kelak, Indonesia tak lagi sibuk mengimpor cengkeh dari negara lain. Kata Probo berulang-ulang kepada petani, hasil perkebunan cengkeh sangat menguntungkan, cengkeh tidak memerlukan perawatan yang rumit, dan setelah panen pohon cengkeh akan berbuah dengan sendirinya.


Selama impor cengkeh dalam penanganan Probo, setiap panen raya tiba para petani bisa membeli mobil baru, menyekolahkan anak, membangun rumah, menikahkan anak, hingga pergi haji.

Bisnis Mobil
Setelah berhasil membesarkan PT Mercu Buana, Probo kemudian mengembangkan usaha lain, seperti mendirikan PT Garmark Motor sebagai industri Chevrolet di Indonesia, PT General Motor Buana Indonesia sebagai agen tunggal pemegang merek (ATPM) mobil Opel di Indonesia dan kepemilikan saham di PT Mesin Isuzu Indonesia (MII).


Probo juga mendirikan PT Cipendawa, bergerak di bidang peternakan ayam, dulu masuk “Kelompok Besar 22”, kemudian dilepas agar peternak kecil mengembangkan usahanya di bidang ini. Kemudian, Probo mendirikan PT Kedaung, sebagai pabrik gelas terbesar di dunia, perusahaan yang juga menanamkan investasi pabrik gelas di Malaysia dan Timur Tengah.


Sejumlah perusahaan lain milik Probo adalah PT Wisata Loka Tribuana, bergerak di sektor properti, PT Buana Ganda Perkasa, perusahaan patungan dengan Wisertech Ltd, Hongkong, untuk menangani mega proyek kilang minyak di Probolinggo.


Probo adalah pemegang saham dan Presiden Direktur PT Duta Pertiwi, perusahaan real estat anggota Kelompok Sinar Mas, milik Eka Cipta Wijaya. Belakangan Probo melepas semua sahamnya kepada Eka Cipta. Di sektor perbankan Probo memiliki Bank Djakarta (sudah dilikuidasi).


Probo mendirikan PT Menara Hutan Buana, mengelola Hutan Tanaman Industri (HTI), yang rencananya akan membangun pabrik kayu cacahan (chip) dan pabrik pulp di Kalimantan Selatan. Semua rencana ini menjadi sulit terealisasi, setelah terjadi perubahan politik, demikian pula ada banyak perubahan yang terjadi di beberapa anak perusahaan di sektor pertanian, khususnya udang, serta ekspor komoditi nonmigas.


Probosutedjo banyak memperoleh keuntungan dari bisnis mobil PT Garmark Motor, yang menghantarkannya menjadi seorang pengusaha sukses. Probo sering menginvestasikan keuntungan besarnya dari Garmark Motor, untuk pembelian tanah. Probo seringkali memperoleh keuntungan berlipat kali ganda dari kenaikan harga tanah. Sebuah kawasan realestat mewah di Kebun Jeruk, Jakarta Barat seluas 200 hektar, dahulu dibeli dengan harga Rp 2.000/meter persegi. Probo juga membeli tanah seluas 6.000 m2, terletak di kawasan elit Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, yang beberapa tahun kemudian harganya sudah beratus kali lipat dari harga belinya.


Tahun 1990-an PT Wisata Triloka Buana, anak perusahaan PT Mercu Buana, melakukan usaha patungan dengan Meridien SA, sebuah jaringan hotel internasional dari Perancis. Keduanya sepakat mendirikan hotel bintang lima, berkapasitas 300 kamar, terletak di Jalan Sudirman, Jakarta, bernama Hotel Internasional Le Meridien. Mitra asing, Meridien SA yang dulunya didirikan untuk mendukung operasional maskapai Air France, melakukan kerjasama dalam hal manajemen hotel, dan memiliki saham maksimal 10 persen saja.


Walau sudah menjadi pengusaha sukses, dengan jaringan bisnis yang meluas, Probo tetap meyakini semuanya adalah karunia Tuhan yang tiada ternilai. Probo yang beranjak dari guru dengan penghasilan yang minim, telah menjadi pengusaha sukses berkat kerja keras dan kejeliannya menangkap peluang bisnis.

Pertahankan Kebenaran
Dalam berbisnis, Probo juga berprinsip bahwa menolong sesama adalah kewajiban setiap manusia. Semut saja, kata Probo, mengajari kita untuk selalu hidup rukun, saling menyapa dan saling menunjukkan jalan.


Kerja keras yang disertai kreativitas dan inovasi, yang mengantarkannya menjadi pengusaha besar, membuat Probo merasa terusik ketika Christianto Wibisono dan Yahya Muhaimin, membuat ‘pernyataan ilmiah’ namun tak sesuai dengan fakta, tentang praktek bisnis yang Probo jalankan.
Christianto Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), membuat makalah “Analisis Konglomerat, Empiris dan Historis”, disampaikan dalam sebuah seminar di Universitas Tarumanegara, Jakarta, 1990. Christianto, menyebutkan Probosutedjo seolah-olah kaya mendadak karena duopoli cengkeh bersama Liem Sioe Liong.


Probo, kata Christianto, tergolong konglomerat yang lahir dari fasilitas dan proteksi. Disebutkan pula, Probo berkiprah di segala bidang bisnis, dan setelah itu tidak ada lagi yang mengungkit-ungkit asal-usul kekayaannya, karena sudah disusul dengan kerja keras dan persaingan bebas yang sebetulnya tidak sepenuhnya fair, karena dengan segala kelebihan dana mudah melakukan dumping terhadap saingan bisnis.


Mendengar itu, Probo sangat kaget sekaligus keberatan dengan pendiskreditan tersebut. Probo sangat terganggu, sebab pernyataan Christianto sudah tersebar luas di media massa. Apalagi, Probo adalah saudara dari orang yang saat itu sedang menjadi Presiden RI. Probo menganggap pernyataan Christianto sebagai preseden buruk yang bisa menimpa siapa saja. Bentuknya bisa fitnah atau pelecehan hanya karena kekurangcermatan pelaku.


Probo tak ingin masyarakat menganggap seolah-olah dirinya menyembunyikan kebenaran. Probo harus menjelaskan ke masyarakat luas, bahwa ia menjadi pengusaha yang merangkak dari bawah. Sejak Soeharto belum menjadi Presiden pun, usaha Probo sudah berkembang meluas.
Probo lalu menggugat Christianto Wibisono, dengan tuduhan pencemaran nama baik, menuntut ganti rugi Rp 50 miliar, dan meminta pemulihan nama baik, dengan memasang permohonan maaf pada sedikitnya 20 media cetak terbitan ibukota.


Akhirnya, Christianto menyadari kesalahannya dan menyampaikan permohonan maaf. Keduanya sepakat berdamai di luar sidang (dading). Christianto kemudian menandatangani akte perdamaian, berisi enam poin penting kesimpulan.

Memaklumi Kekeliruan Yahya
Akan halnya dengan Yahya Muhaimin, Probo merasa tersandung oleh penulisan buku “Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980”. Yahya mengangkat buku tersebut dari disertasinya, berjudul Indonesia Economic Policy, 1950-1980: the Politics of Client Businessmen, untuk meraih gelar PhD di Massachusetts of Technology, AS, 1982.


Probo terusik oleh kalimat tendensius berisi cerita perjalanan bisnis Probosutedjo, di halaman 251 dan 252. Pada halaman 252, tertulis, “Pada tahun 1967, Probosutedjo mendirikan PT Mercu Buana, dan tahun itu juga ia dan keluarganya pindah dari Medan ke Jakarta. Pada tahun 1968, perusahaan impor ini memperoleh monopoli atas impor cengkeh yang sangat menguntungkan dari Menteri Perdagangan yang baru, Dr. Sumitro Djoyohadikusumo, tidak lama setelah ia (Sumitro), di luar dugaan banyak kalangan, diberi jabatan itu oleh Presiden Soeharto.”


Kemudian, pada halaman 251 tertulis, “Ia baru benar-benar aktif dalam bisnis pada tahun 1963, ketika menjadi importir bersama PT Irian Jaya, sebuah perusahaan yang disponsori Kostrad dan mendapat monopoli atas perdagangan di Irian Barat (Irian Jaya). Ketika itu Soeharto menjabat Panglima Komando Operasi Mandala yang merupakan bagian penting dari Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat….”


Bunyi kedua kalimat sangat ganjil, terutama perihal Probosutedjo pindah ke Jakarta tahun 1967. Probo tak punya hubungan sama sekali dengan PT Irian Jaya, dan tak pernah tahu perusahaan itu milik siapa. Apalagi, Probo tidak pernah mendapat monopoli perdagangan di Irian Jaya.


Menanggapi tulisan Yahya Muhaimin, Probo melakukan somasi, memberi contoh ke masyarakat bahwa dirinya sadar hukum dan berani mempertahankan kebenaran hukum. Probo bukan hanya menolak pernyataan Yahya, melainkan memberi penjelasan dan argumentasi, serta menunjukkan kebenaran sejarah yang sesungguhnya. Ia menanggapi Yahya dengan sikap keterbukaan, khususnya tentang sejarah pertumbuhan usaha dan kebijaksanaan pemerintah di Indonesia. Probo berharap, menulis riwayat seseorang harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.


Sebagaimana dengan Christianto Wibisono, gugatan Probo terhadap Yahya Muhaimin berakhir dengan damai. Probo memaklumi kekeliruan Yahya sebagai tidak dengan maksud mencemarkan nama baik. Dalam buku diakui terdapat data yang kurang pas, sehingga Yahya berjanji akan merevisinya dalam cetak ulang buku berikutnya.


Probo mempunyai semangat untuk maju disertai berbagai pengalaman hidup yang keras. Probosutedjo, lahir di desa Kemusuk, Yogyakarta, 1 Mei 1930, yang membuatnya memiliki adat dan budaya yang santun. Namun, begitu Probo besar dan merantau selama 12 tahun ke wilayah Sumatera Utara, ia menjadi terbiasa berbicara blak-blakan, seperti layaknya orang Medan kebanyakan.


Kebiasaan itu pulalah yang membuat Probo tak pernah bisa diam menahan diri untuk tidak berbicara, mana-kala dengan kasat mata ia menyaksikan ketimpangan di masyarakat. Probo seringkali melontarkan kritikan tajam nan pedas, atau melemparkan gagasan-gagasan baru yang menentang arus.
Probosutedjo dahulu bekerja keras merintis usaha untuk mengubah nasib. Kini, di usia senja ia tetap bekerja keras juga untuk mengubah nasib, kali ini nasib orang lain yang masih tergolong belum beruntung. Karena Probo terbiasa bekerja keras, ketika berbisnis ia tak mengalami banyak kesulitan, kendati tanpa mengandalkan fasilitas dari kakaknya 



Sumber : Tokoh Indonesia.com

0 komentar:

Posting Komentar

 

My Blog List

Hello